Rabu, 27 November 2013
Minggu, 21 Juli 2013
sakit gigi
jika kalian mengalami sakit gigi,,itu pasti sangat tersiksa. Sampai sampai rasa sakit tersebut
dapat membuat kita tidak tidur semalaman, menangis semalaman dan tentunya dapat mengakibatkan kita
kurang istirahat.
terus , apa sih penyebab sakit gigi itu? hmm ..Sakit gigi diakibatkan adanya keadaan gigi kita kurang bersih, sehingga kuman akan mudah mengrogoti bagian gigi kita, penyebab lainnya adalah karena adanya rahang gigi atau gusi bengkak, berlubang, retak, dan lain sebagainya.makannya buat semuannya , yang rajin kalo gosok gigi :)
terus , apa sih penyebab sakit gigi itu? hmm ..Sakit gigi diakibatkan adanya keadaan gigi kita kurang bersih, sehingga kuman akan mudah mengrogoti bagian gigi kita, penyebab lainnya adalah karena adanya rahang gigi atau gusi bengkak, berlubang, retak, dan lain sebagainya.makannya buat semuannya , yang rajin kalo gosok gigi :)
cara-cara yang bisa kalian lakukan untuk mengobati gigi sakit adalah :
Kunyit
Siapa yang tidak kenal dengan tumbuhan herbal yang satu ini,
tumbuhan yang sudah sangat mengakar dengan sifat kemedisannya ini, ternyata
juga bisa anda gunakan untuk mengobati sakit gigi secara alami. Adapun caranya adalah:
siapkan kunyit secukupnya kemudian bakar kunyit kedalam bara api. Setalah kunyit
dibakar, tumbuk kunyit sampai halus/ hancur. Nah bubuk inilah yang nantinya
dapat anda gunakan untuk bedak gigi (obat gigi secara alami).
Bawang putih
Hmmm bawang putih, bisa gak yahh? Mungkin anda bertanya-tanya
apakah bisa bawang putih untuk mengobati gigi? Padahal yang kita tahu bahwa
bawang putih merupakan salah satu bumbu dapur, tetapi selain berguna untuk bumbu
dapur bawang putih juga kaya akan manfaat yang baik untuk kesehatan, dan salah
satunya adalah bermanfaat untuk mengobati sakit gigi.
Adapun cara penggunaannya adalah sbb: siapkan bawang putih
satu siung, kemudian kupas dan buang kulitnya, langkah selanjutnya tumbuk
bawang putih samapai hanjur dan tambahkan sedikit kacang. Lalu oleskan
kepermukaan gigi yang sakit.
Lada atau Merica
Cara pengobatanya: sipakan sekitar 1 sendok teh lada bubuk
serta siapkan juga sedikit garam dapur. Campurkan kedua bahan tadi, lalu
masukkan campuran mrica dan garam ke gigi yang terasa sakit/ gigi yang
berluban.
Asafetida
Asafetida merupakan salah satu bahan pembunuh rasa sakit paling
mujarab. Adapun cara penyembuhan menggunakan Asafetida adalah sbb: siapkan
sekitar setengah sendok makan Asafetida lalu anda campur asafetida dengan air lemon
setengah sendok makan juga. Gunakan ramuan
ini untuk mengobati sakit gigi anda.
Peppermint
Cara pembuatan obatnya: siapkan sekitar 5 gram peppermint,
lalu rebus peppermint dengan air sekitar satu cangkir, kemudian tambahkan
sedikit garam. Biarkan hingga mendidih, setelah mendidih angkat dan diamkan
dulu agar tidak panas. Minum ramuan ini 2 x dalam sehari.
Bayam
Cara pengobatannya: siapakan beberapa lembar daun bayam yang
masih segar lalu kunyah daun tersebut. Hal ini bisa membantu anda untuk
memperkuat gusi, sehingga anda tidak sering terkena sakit gigi.
Es Batu
Es batu dapat membuat bagian tubuh mati rasa, sehingga
bermanfaat baik untuk mematikan rasa sakit pada gigi. Cara pengobatan
menggunakan es batu: siapkan es batu kemudian gosokkan ke bagian gigi yang
sakit selama beberapa detik atau menit.
Mentimun
Buah mentimun mungkin terkenal akan manfaatnya untuk kulit,
namun siapa sangka bahwa buah ini juga bermanfaat baik untuk mengobati gigi
anda. Adapun cara pembuatan obatnya adalah sbb: siapkan buah mentimun lalu
potong-potong kecil dan masukan ke bagian gigi yang berlubang/ gigi sakit.
Itulah sedikit refrensi mengenai sakit gigi, penyebab sakit
gigi dan bagai mana cara mengobati sakit gigi secara alami :)
Sabtu, 13 Juli 2013
Hukum Mengucapkan Sumpah Demi ALLAH
Bila seorang muslim atau muslimah yang sudah mukallaf mengulang-ulang
ucapan “Demi Allah” ketika melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu tanpa disengaja dan dimaksudkan, seperti mengucapkan “Demi
Allah, aku tidak akan mengunjungi si fulan” atau “Demi Allah, Aku akan
mengunjungi si fulan” sebanyak dua kali atau lebih, atau “Demi Allah,
sungguh aku akan mengun-jungi si fulan” dan ucapan seperti itu. Bilamana
dia melanggarnya karena tidak melaksanakan perbuatan yang akan
dilakukannya berdasarkan sumpahnya tersebut atau melakukan perbuatan
yang tidak akan dilakukannya berdasarkan sumpahnya, maka dia wajib
membayar kafarat (tebusan) sumpah, yaitu memberi makan sepuluh orang
miskin, atau memberi pakaian atau membebaskan budak. Di dalam memberi
makan, kadar yang wajibnya adalah setengah Sha’ makanan pokok negeri,
berupa kurma, nasi atau lainnya. Yaitu, lebih kurang seukuran 1,5 kg.
Sedangkan pakaian adalah sesuatu yang dapat dijadikan untuk shalat
seperti kemeja (Gamis), kain dan pakaian. Bila salah satu dari tiga hal
tersebut tidak mampu dilakukan, maka wajib baginya berpuasa selama tiga
hari. Hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada kelu-argamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.” (Al-Ma’idah:89).
Adapun bila sumpah tersebut terucap oleh lidahnya tanpa disengaja atau dimaksudkan, maka ia dianggap tidak berlaku, sehingga dia tidak wajib membayar kafarat atas hal itu. Hal ini berdasarkan ayat yang mulia ini, firmanNya, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).” (Al-Ma’idah:89).
Dia hanya membayar satu jenis kafarat saja untuk sumpah-sumpah yang terulang-ulang bila hal itu dilakukan terhadap satu jenis perbuatan sebagaimana yang kami singgung tadi. Sedangkan bila perbuatan yang dilakukan beragam, maka wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masing sumpah, seperti bila dia mengucapkan “Demi Allah, sungguh aku akan mengunjungi si fulan. Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan si fulan. Demi Allah, sungguh aku akan memukul si fulan” dan yang semisalnya. Jadi, bila salah satu dari sumpah-sumpah ini atau sejenisnya dia langgar, maka dia wajib membayar kafarat untuknya dan bila dia melanggar semuanya, maka wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masingnya. Wallahu Waliyyut Taufiq.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada kelu-argamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.” (Al-Ma’idah:89).
Adapun bila sumpah tersebut terucap oleh lidahnya tanpa disengaja atau dimaksudkan, maka ia dianggap tidak berlaku, sehingga dia tidak wajib membayar kafarat atas hal itu. Hal ini berdasarkan ayat yang mulia ini, firmanNya, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).” (Al-Ma’idah:89).
Dia hanya membayar satu jenis kafarat saja untuk sumpah-sumpah yang terulang-ulang bila hal itu dilakukan terhadap satu jenis perbuatan sebagaimana yang kami singgung tadi. Sedangkan bila perbuatan yang dilakukan beragam, maka wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masing sumpah, seperti bila dia mengucapkan “Demi Allah, sungguh aku akan mengunjungi si fulan. Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan si fulan. Demi Allah, sungguh aku akan memukul si fulan” dan yang semisalnya. Jadi, bila salah satu dari sumpah-sumpah ini atau sejenisnya dia langgar, maka dia wajib membayar kafarat untuknya dan bila dia melanggar semuanya, maka wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masingnya. Wallahu Waliyyut Taufiq.
Hukum Memakai Baju Ketat
Oleh Syaikh Ibnu Jibrin
Hukum memakai pakaian ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh tidak
diperbolehkan bagi seorang wanita muslimah, karena hal itu niscaya dapat
memalingkan pandangan orang yang melihatnya, karena pakaian tersebut
menampakkan lekuk buah dada, tulang dada, pantat, perut, punggung, dua
bahunya dan bagian tubuh lainnya.
Membiasakan anak perempuan dengan pakaian seperti itu, niscaya hal itu akan menjadi kebiasaannya, menjadi penyakit yang menggerogoti akhlaknya dan merasa sulit baginya untuk melepaskannya, meskipun ia menyadari bahwa memakai pakaian seperti itu mengundang bahaya.
Demikian juga halnya dengan pakaian pendek (mini) serta pakaian yang ada belahannya pada salah satu sampingnya sehingga betis dan kaki terlihat, atau pakaian lengan pendek.
Tidak selayaknya membiarkan anak-anak perempuan yang masih kecil berpakaian seperti itu, meskipun dipakai di depan mahramnya atau kaum wanita lainnya, karena membiasakannya berpakaian seperti itu niscaya akan mendorong keberaniannya untuk memakainya saat keluar rumah, pergi ke pasar, menghadiri jamuan atau mendatangi sejumlah pertemuan, seperti yang sering kita saksikan. Padahal di antara pakaian yang biasa dipakai perempuan terdapat pakaian yang berbeda dengan pakaian-pakaian tersebut. :)
Membiasakan anak perempuan dengan pakaian seperti itu, niscaya hal itu akan menjadi kebiasaannya, menjadi penyakit yang menggerogoti akhlaknya dan merasa sulit baginya untuk melepaskannya, meskipun ia menyadari bahwa memakai pakaian seperti itu mengundang bahaya.
Demikian juga halnya dengan pakaian pendek (mini) serta pakaian yang ada belahannya pada salah satu sampingnya sehingga betis dan kaki terlihat, atau pakaian lengan pendek.
Tidak selayaknya membiarkan anak-anak perempuan yang masih kecil berpakaian seperti itu, meskipun dipakai di depan mahramnya atau kaum wanita lainnya, karena membiasakannya berpakaian seperti itu niscaya akan mendorong keberaniannya untuk memakainya saat keluar rumah, pergi ke pasar, menghadiri jamuan atau mendatangi sejumlah pertemuan, seperti yang sering kita saksikan. Padahal di antara pakaian yang biasa dipakai perempuan terdapat pakaian yang berbeda dengan pakaian-pakaian tersebut. :)
Rabu, 30 Januari 2013
hukum pHoto
Permasalah hukum foto dan gambar dalam
tinjauan syari’at Islam sebenarnya bukanlah pembahasan yang baru. Para ‘ulama
pun semenjak dahulu telah membahas permasalahan ini. Namun pada kesempatan kali
ini saya tergerak untuk mencoba menuliskan kembali dan membahas secara
ringkas permasalahan ini dalam tulisan saya yang singkat .
Tentang hukum melukis gambar makhluk hidup
telah jelas dan gamblang larangan syari’at tentang hal ini dikarenakan
banyaknya hadits-hadits yang melarang untuk melukis gambar makhluk bernyawa
(termasuk membuat patung).
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah bersabda
: “Sesungguhnya manusia yang paling keras disiksa di hari Kiamat adalah para
tukang gambar (mereka yang meniru ciptaan Allah)”. (HR. Bukhari & Muslim)Dari Ibnu Umar berkata : Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, “‘Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!”. (HR. Bukhari & Muslim, dengan lafadz Bukhari).
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Rasulullah bersabda : “(Sesungguhnya kami para) Malikat tidak masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar” (HR. Bukhari & Muslim, dengan lafadz Muslim).
Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih tentang masalah ini.
Hadits-hadits ini adalah dalil yang nyata tentang haramnya membuat gambar
sesuatu yang bernyawa dan termasuk dosa besar yang diancam dengan neraka bagi
penggambarnya (na’udzubillahi min dzalik).
Lalu
bagaimana hukumnya dengan foto? Apakah foto bisa disamakan dengan gambar?
Para ‘ulama
berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian ‘ulama beranggapan bahwa foto sama
hukumnya dengan gambar/lukisan. Sehingga jika seandainya seorang fotografer
mengambil gambar melalui kameranya bisa di qiyas-kan
dengan melukis/menggambar, hukumnya haram dan pelakunya berdosa. Sebagian
‘ulama lainnya berpendapat bahwa fotografi tidaklah sama dengan
gambar/lukisan, juga tidak bisa disamakan antara memotret dan melukis sehingga
tidak bisa dihukumi sama antara keduanya.
Secara
pribadi, saya cenderung pada pendapat ‘ulama yang memperbolehkan foto dengan
beberapa penjelasan yang insya Allah lebih kuat dan lebih luas dalam
permasalahan ini. Saya banyak mengambil manfaat dari pandangan salah seorang
‘ulama yaitu Syaikh Abdus Salam Barjas dalam pembahasan hukum foto.
Syaikh
menjelaskan bahwa beliau termasuk diantara yang membolehkan gambar foto baik
karena ada kebutuhan atau pun tanpa ada kebutuhan karena dalam gambar foto itu
tidak tercakup dalam dalil-dalil yang melarang membuat gambar. Dalil-dalil yang
melarang membuat gambar hanyalah mencakup patung dan lukisan dengan tangan. Terlarangnya
membuat patung dan melukis dengan tangan adalah perkara yang disepakati oleh
para ulama.
Sedangkan
gambar foto itu tidak
menyaingi ciptaan Allah sama sekali, karena yang ada di foto
itu adalah ciptaan Allah itu sendiri, hanya saja bayang-bayangan ciptaan Allah
itu direkam dalam perangkat kamera dan dicetak pada lembaran kertas foto. Makna
dari ‘menyaingi ciptaan Allah’ yakni meniru bentuk dari rupa makhluk hidup
sebagaimana yang Allah ciptakan boleh jadi dengan cara memahat, membuat patung
atau pun dengan melukis.
[Fatwa
Syaikh Abdus Salam Barjas ini dikeluarkan pada tanggal 17 Juli 2003, di
Provinsi Syariqoh Uni Emirat Arab dalam acara Liqa al Maftuh]
Kembali pada
masalah hukum foto ini, jika harus memberikan putusan tentang halal dan
haramnya maka itu relatif , tergantung pada objek benda yang difoto atau maksud
tujuan dari memfoto tersebut. Jika objeknya adalah wanita apalagi wanita yang
tidak menutup aurat dengan sempurna, tidaklah diragukan keharamannya. Begitu
juga apabila tujuan dari memfoto adalah tujuan yang tercela (mis. menyebarkan
aib orang lain) maka memfoto hukumnya menjadi tercela/haram.
hukum berzina lewat sms
Pernah denger gag berzina lewat sms ?? atau TTM (teman tapi mesra) pas ntu lagi gag sengaja pinjem hpnya teman dan
teryata ada sms gituuuu….lalu ,, bagaimanakah hukum kalau kita
menanggapi / meladeni sms seorang yang mengajak kita berzina, tapi kita tidak
melakukan zina tersebut, karena kita meladeni sebatas bercanda, tapi teryata
orang tersebut serius?
Jadi gini ,, menurut artikel, buku buku yang saya
baca,Hukumnya haram dan berdosa.
Karena hal tersebut termasuk mendekat ke jalan perzinaan. Padahal Allah telah
berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina,
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al-Israa’:32)
Demikian disurat An-Nur: 30-31, yang melarang
untuk mendaki zina juga agar menahan pandangan. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat, .Dan katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya….”(QS.
An-Nur:30-31)
Maka termasuk diantara jalan-jalan perzinaan
dimasa kini adalah hubungan dengan wanita yang bukan mahramnya lewat SMS dalam
perkara-perkara yang bathil semacam ini. Dan hal ini termasuk khalwat yang
dilarang dalam Agama, meskipun tidak dalam satu tempat antara laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi hukumnya sama, sebagaiman
yang dijelaskan para ‘Ulama. Maka hendaklah bertakwa kepada Allah, dan
berhati-hati dalam menggunakan alat-alat komunikasi modern. Hendaknya digunakan
dalam hal-hal yang baik dan sejalan dengan syari’at Islam. Janganlah tergoda
dengan berbagai tawaran yang menyebabkan murka Allah subhaana wata’ala.
HUKUM GADAI DALAM ISLAM
Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan[2]. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
Dalil dari al-Qur’an
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang. (QS. Al-Baqarah [2] : 283)
Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)
DIBOLEHKAN KETIKA SAFAR DAN TIDAK TIDAK SAFAR
Dari dalil-dalil di atas, dan masih benyak lagi hadist-hadist lain, menunjukkan bolehnya pegadaian baik ketika bepergian / safar ataupun tidak dalam bepergian. Ibnul Mundzir mengatakan, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal tersebut kecuali Mujahid saja yang mengatakan pegadaian hanya boleh ketika safar”. Adapun zhahir ayat yang disebutkan di atas (yaitu bolehnya pegadaian untuk orang yang bepergian / safar saja), maka penyebutan bepergian atau safar tersebut karena sering terjadi dan biasanya tidak dijumpai seorang penulis hutang adalah ketika safar, dan ini tidak meniadakan bolehnya pegadaian ketika tidak safar.
Bolehnya pegadaian ketika tidak safar dikuatkan pula oleh zhahir hadist Aisyah Radhiyallahu’anha yang mengatakan bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menggadaikan perisai perangnya ketika beliau sedang berada di Madinah ; ini menunjukkan Nabi melakukannya ketika tidak sedang safar.
Dan boleh nya pegadaian ketika sedang safar dan tidak safar dikuatkan oleh makna gadai itu sendiri yang artinya adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang”. Ini adalah isyarat inti dari pegadaian ialah untuk jaminan, sama saja ketika safar atau tidak safar (Lihat al-Mughni 6/444, Fathul Bari 5/173-174, al-Majmu’ 1/305, Bidayatul Mujtahid 2/271, al-Muhalla bil Atsar 6/362)
BARANG YANG BOLEH DIGADAIKAN
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Oleh karena itu, seandainya sesorang ingin meminjam uang kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak diperbolehkan karena anak tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana hadists yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga golongan yang dibantah oleh Alloh pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut, Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan:
Dan (Alloh akan membantah) seorang yang menjual (orang) yang merdeka[3] dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)
Seandainya seseorang ingin meminjam uang dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak boleh diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini didasari oleh sebuah hadist Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :
Sesungguhnya Alloh apabila mengharamkan sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual beli)nya. (Hadist ini dishahihkan al-Albani dalam Ghayatul Maram)
Seandainya seseorang menggadaikan sebuah rumah padahal rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak sah karena sesuatu yang telah diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana hadist yang menjelaskan tentang hal itu, Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Tidak boleh dijual barang asal (yang diwakafkan) tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. (HR. Bukhari 2737, Muslim 1632, Tirmidzi 1375 dari hadist Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu)
Dari contoh-contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa setiap barang yang bisa / boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai.
SIAPA PEMEGANG BARANG GADAI?
Pada dasarnya, yang berhak memegang barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang meminjami sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan merasa tsiqah/percaya satu sama lain. Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka merasa tidak aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu tadi, maka barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati oleh kedua bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang meminjami sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 9/82, dengan penyesuaian)
ANTARA HARGA BARANG DAN BESARNYA HUTANG
Dari definisi dan penjelasan makna gadai di atas, kita bisa mengetahui bahwa barang yang digadaikan adalah sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut, sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah hutangnya, bahkan boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela (suka sama suka).[4] Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya, maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya dan boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar, karena barang tersebut berstatus milik penggadai barang. (Lihat al-Mabsuth 21/63, al-Bada’i 6/145)
BOLEHKAH BARANG GADAI DIMANFAATKAN OLEH PEMEGANG BARANG?
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu pula semua imam madzhab empat kecuali madzhab Hanbali[5] bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak memilikinya, bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya. (Hadist shahih, dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dh’if Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul Ghalil no. 1761, 1459)
APABILA MENJUAL BARANG GADAI TANPA SEIZIN PEMILIKNYA
Seandainya pemegang barang terlanjur memanfaatkannya, serta menjual atau menyewakannya tanpa seizin pemiliknya, maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali penjualan dan sewa-menyewa tersebut batal dan tidak sah. Adapun menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, penjualan dan sewa menyewa tersebut hukumnya tergantung kepada pemilik barang, apabila ketika pemilik barang mengetahui kemudian menyetujui, maka sah penjualan atau sewa menyewa itu, apabila tidak maka batal dan tidak sah.[6] Pendapat terakhir inilah (Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan dasar sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi Radhiyallahu’anhu pernah dititipi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam satu dinar untuk membeli satu ekor kambing qurban, lalu Urwah pergi ke pasar hewan membeli dua ekor kambing seharga satu dinar, kemudian sebelum kembali kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ia menjual satu ekor kambing seharga satu dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing dan uang satu dinar, dan tatkala Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahuinya, beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyetujui dan mendo’akan keberkahan buat Urwah. Hadist ini menunjukkan apabila seorang menjual atau membeli sesuatu tanpa persetujuan pemiliknya yang sah, kemudian pemiliknya yang sah ketika tahu lalu menyetujuinya, maka sah transaksi tersebut, dan apabila tidak menyetujui maka batal dan tidak sah.
KERUGIAN DAN KEUNTUNGAN YANG TIMBUL DARI BARANG GADAI
Adapun kerugian atau keuntungan yang muncul dari barang yang sedang digadaikan dan sedang berada di tangan pemegang barang, maka semuanya dikembalikan kepada penggadai (pemilik barang) yang asli. Hal ini lantaran keuntungan dan kerugian / berkurangnya barang tersebut adalah cabang dari pokoknya, sehingga dikembalikan kepada pokoknya – yaitu barang gadai – dan dikumpulkan menjadi satu dengan barang gadai serta tetap menjadi hak milik penggadai (pemilik barang). Ini merupakan kesepakatan ahli fiqh dari berbagai kalangan madzhabnya masing-masing[7], hal ini didasari sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :
Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang yang digadaikan bagi pemiliknya yang menggadaikannya, keuntungan dan kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik barang)[8]
Misalnya; seorang meminjam uang kepada orang lain,kemudian menggadaikan seekor kambing betina yang sedang hamil. Tatkala penggadai mau melunasi hutangnya dan mengambil barang yang digadaikan tadi, ternyata kambing miliknya telah melahirkan tiga ekor, dan dari tiga ekor tadi melahirkan sembilan ekor, sehingga kambing-kambing itu berjumlah tiga belas ekor, maka semua kambing tadi termasuk barang gadai dan tetap hak milik penggadai barang. Dan begitu pula sebaliknya, seandainya ternyata kambing yang sedang hamil tadi mati tanpa adanya faktor kesenjangan dari pemegang barang, maka kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik barang, dan tidak menjamin kerugian karena tidak ada unsur kesenjangan.
PADA ASALNYA YANG MENANGGUNG BIAYA PERAWATAN SELAMA DIGADAIKAN ADALAH PEMILIK BARANG
Apabila barang gadai membutuhkan biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.
BOLEH MEMANFAATKAN BARANG GADAI SEKEDAR PENGGANTI BIAYA PERAWATAN
Apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang terebut membutuhkan biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas / seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut, hal ini didasari oleh satu hadist:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511, 2512)
Hadist di atas menunjukkan, pemegang barang berhak memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang dikeluarkan untuk perawatan barang gadai, seperti biaya makan dan minum setiap hari dan lainnya. (Lihat Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil Maram 5/161)
Dari hadist di atas bisa kita ketahui bahwa bolehnya memanfaatkan barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan selama digadaikan seperti perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barangnya, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Dan dari hadist di atas pula (dari perkataan “sebatas biaya yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang barang memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku zhalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sapi perahnya kepada orang lain, maka boleh bagi pemegang barang memerah susu sapi tersebut dan memanfaatkan susunya sebatas pengganti biaya perawatan sapi perah itu. Apabila biaya perawatannya selama seminggu adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu minggu adalah Rp 150.000, maka pemegang barang hanya berhak mengambil yang seimbang dengan biaya perawatannya yaitu Rp. 100.000. kemudian pemegang barang harus mengembalikan lebihnya yaitu Rp 50.000 kepada pemilk barang gadai karena ini adalah haknya. (asy-Syahrul Mumti’ 9/97, dengan perubahan angka dan penyesuaian)
APABILA JATUH TEMPO PEMBAYARAN HUTANG
Apabila telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman Alloh berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah [5] : 1)
Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)
Dan pemilik barang masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu[9].
Ibnu Atsir mengatakan , “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik barang tidak mampu melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”[10]
Akan tetapi apabila pemegang barang ingin menarik / menuntut haknya karena dia membutuhkannya – misalnya – maka dia berhak menuntut haknya supaya pemilik barang[11] bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.
Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )
APABILA PEMILIK BARANG GADAI RUSAK / HILANG DI TANGAN PEMEGANG BARANG
Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.
Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai / pemilik barang)”.
Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan.
Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman:
Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah [9] : 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan mobilnya kepada si fulan, kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk mengangkut penumpang tanpa seizin penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu sekian lama, mobil itu rusak dan membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka si fulan harus menanggung semua biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas terjadinya kerusakan mobil tersebut.
Misal lain; seandainya pada permisalan di atas tadi si fulan tidak menggunakan mobil itu, bahkan menyimpannya di tempat yang selayaknya, kemudian datanglah seorang pencuri pada malam hari dan mencuri mobil gadai tersebut, maka si fulan tidak menanggung kehilangan mobil tersebut karena tidak ada unsur kesengajaan dari si fulan (pemegang barang) ini.
Demikian pembahasan pegadaian menurut Islam. Mungkin masih ada poin-poin yang belum terbahas dan kurang sempurna, atau belum mencakup semua sistem pegadaian yang ada di tanah air kita.
Perlu diingat, hukum yang kami sebutkan dalam pembahasan ini (diperbolehkannya pegadaian) adalah yang sesuai dengan syari’at Islam berikut syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas. Adapun sistem pegadaian yang ada di tanah air kita, maka tidaklah bisa dihukumi secara umum diperbolehkan, terutama apabila didalamnya ada sistem-sistem yang menyelesihi syari’at Islam.
Mudah-mudahan bermanfaat. Wallohu A’lam.
(Dari majalah al Furqon Edisi 7 / Shafar 1427 halaman 37-42)
[1] Lihat firman Allah QS. Al-Ahzab [33]: 72
[2] Adapun pegadaian yang banyak dijumpai di negeri kita, maka tidak bisa dikatakan semua dibolehkan apabila terdapat didalamnya system yang menyelesihi syari’at Islam. Lihat kembali rubric Fiqh dalam majalah Al Furqon edisi 5 tahun V, dengan judul Kaidah-Kaidah Penting Dalam Mu’amalah.
[3] Maksudnya adalah bukan budak, karena budak boleh diperjualbelikan, sebagaimana dijelaskan di kitab-kitab fiqh seperti al Mughni dalam “kitab al-‘itq” (hal. 344-411), dan lain-lain.
[4] Kaidah ini telah dijelaskan oleh ustadz Abu Yusuf dalam majalah Al Furqon edisi 5 tahun V, berjudul Jual beli itu berdasarkan rasa suka sama suka
[5] Lihat Bidayatul Mujtahid (2/273), al-Mughni (4/385), Kasyful Qana’ (2/342)
[6] Lihat al-Bada’I (6/146), dan asy-Syarhul Kabir (3/242)
[7] Lihat al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (5/273)
[8] HR. Ibnu Hibban dalam Mawaridu adh-Dham’an (no. 1123), Baihaqi (6/40), Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 15033), Daruquthni dalam as-Sunan (3/32 no. 126), al-Marsail li Abi Dawud (no. 187), asy-Syafi’I dalam Tartibul Musnad (2/164 no. 568). Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, “Para perawi hadist ini terpercaya, kecuali yang lebih kuat tentang hadist ini menurut Abu Dawud bahwa hadist ini mursal”
[9] Lihat catatan no.8
[10] Lihat pernyataan Ibnu Atsir dalam an-Nihayah (3/379)
[11]Hak penjualan barang dikembalikan kepada penggadai (pemilik barang) karena dialah yang memilikinya, akan tetapi karena barang tersebut sedang menjadi jaminan hutang maka harus disetujui oleh pemegang barang gadai itu (al-Fiqhul Islami 5/272)
mimpi basah pada wanita
Apakah kalian
tau para muslimah ?? Teryata ,,, Wanita juga bisa mengalami mimpi basah dan mengeluarkan cairan
(mani) sebagaimana laki-laki. Ummu Sulaim (ibunda Anas bin Malik) ra, datang kepada Nabi sawdan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak
malu dalam menjelaskan kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah (mengeluarkan mani)?”Nabi sawmenjawab:
نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ya,
apabila wanita melihat air mani maka dia wajib mandi.” Ummul Mukminin Ummu Salamah rayang
waktu itu berada di sampingnya, tertawa dan bertanya, “Apakah wanita juga mimpi
basah dan mengeluarkan air mani??” Nabi saw menjawab:
فَبِمَا يُشْبِهُ الْوَلَدُ
“Iya.
Dari mana anak itu bisa mirip (dengan ayah atau ibunya kalaupun bukan karena
air (mani) tersebut)?” (H.r. Bukhari dan Muslim)
Hanya saja, air mani wanita berbeda dengan laki-laki, seperti
yang disabdakan Rasulullah saw
مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءُ
الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Mani
laki-laki itu kental dan berwarna putih sedangkan mani wanita tipis/halus dan
berwarna kuning.” (Hadis sahih; diriwayatkan oleh
Muslim, Ahmad, dan yang lainnya)
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Adapun mani wanita maka dia
berwarna kuning, tipis/halus. Namun, terkadang warnanya bisa memutih karena
kelebihan kekuatannya. Mani wanita ini bisa ditandai dengan dua hal: pertama, aromanya seperti aroma mani laki-laki; kedua, terasa nikmat ketika keluarnya dan meredanya syahwat
setelah mani keluar.” (Syarah
Shahih Muslim, 3:223)
Dari hadis di atas juga bisa disimpulkan bahwa lelaki maupun
wanita yang mimpi basah kemudian mengeluarkan mani maka
dia wajib mandi. Sebaliknya, jika tidak mengeluarkan mani maka tidak wajib
mandi, karena yang menjadi acuan mandinya adalah keluarnya mani, bukan
mimpinya. Ulama sepakat tentang wajibnya seseorang mandi bila mengeluarkan
mani, dan tidak ada perbedaan di sisi kami apakah keluarnya karena jima’ (senggama), ihtilam (mimpi
basah),onani, atau melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat. Sama saja,
apakah keluarnya dengan syahwat atau pun tidak, dengan rasa nikmat atau tidak,
banyak atau pun sedikit walaupun hanya setetes, dan sama saja apakah keluarnya
di waktu tidur atau pun ketika tidak tidur, baik laki-laki maupun wanita.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 2:139).
Memang benar diantara salah satu tanda seseorang akil baligh
bagi wanita adalah keluarnya darah haidh dan bagi laki-laki mimpi basah. Hal ini menunjukkan bahwa mimpi basah banyak dialami oleh
kaum Adam (laki-laki). Namun perempuan juga ada yang mengalami mimpi basah
sesuai dengan hadits diatas. Allohu A'lam
Langganan:
Postingan (Atom)